Beranda | Artikel
Penjelasan Hadis Arbain An-Nawawiyah (Bag. 2): Hadis 1, Setiap Amal Tergantung Niat (Lanjutan)
9 jam lalu

Hadis ini adalah salah satu hadis yang menjadi poros utama Islam. Imam Ahmad dan Imam Asy-Syafi‘i berkata,

يدخل في حديث الأعمال بالنيات ثلث العلم

“Hadis tentang amal tergantung pada niat mencakup sepertiga ilmu.”

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

يدخل هذا الحديث في سبعين بابا من الفقه

“Hadis ini masuk dalam tujuh puluh bab fikih.”

Al-Baihaqi dan ulama lainnya menjelaskan bahwa sebabnya adalah karena usaha seorang hamba dilakukan dengan hati, lisan, dan anggota tubuh, sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian tersebut. [1]

Hadis ini merupakan hadis yang mulia dan penting. Bahkan banyak ulama yang memulai kitab mereka dengan hadis ini sebagaimana yang telah penulis jelaskan di artikel sebelumnya. Hadis ini memiliki banyak sekali faidah yang dapat diambil. Namun, pada artikel kali ini ada dua faidah besar yang akan dibahas oleh penulis.

Faidah 1: Pentingnya niat di dalam sebuah ibadah

Niat dalam bahasa artinya adalah (القصد) maksud. Syekh Utsaimin rahimahullah menjelaskan makna niat secara syar’i. Beliau rahimahullah berkata,

العزم على فعل العبادة تقرّباً إلى الله تعالى، ومحلها القلب، فهي عمل قلبي ولاتعلق للجوارح بها

“Tekad untuk melakukan ibadah sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, tempatnya adalah di hati. Ia merupakan amalan hati dan tidak ada kaitannya dengan anggota tubuh.” [2]

Yang dimaksud dari niat ini adalah membedakan antara kebiasaan dengan ibadah, serta membedakan antara satu jenis ibadah dengan ibadah yang lainnya.

Niat membedakan kebiasaan dengan ibadah

Niat sangatlah penting untuk membedakan antara kebiasaan yang dilakukan sehari-hari dengan sebuah ibadah. Niat dapat menjadikan kebiasaan sehari-hari yang kita lakukan bisa bernilai ibadah. Sebagai contoh, ada seorang laki-laki makan makanan hanya karena nafsu semata atau untuk mengenyangkan perutnya. Sedangkan di waktu yang bersamaan, ada seorang laki-laki lain makan makanan dengan tujuan menaati sebuah perintah Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا

“Makan dan minumlah…” (QS. Al-A‘raf: 31)

Maka, makannya laki-laki yang kedua menjadi sebuah ibadah, sedangkan makannya lelaki yang pertama hanyalah kebiasaan saja.

Contoh lain, ada seorang lelaki mandi dengan air hanya untuk menyegarkan badan, sedangkan yang kedua mandi dengan air untuk bersuci dari junub. Maka yang pertama adalah kebiasaan. Dan yang kedua menjadi sebuah ibadah.

Niat membedakan sebuah ibadah dengan ibadah yang lain

Niat juga sangat penting untuk membedakan antara sebuah ibadah dengan ibadah yang lain. Sebagai contoh, seorang laki-laki salat dua rakaat dengan niat sebagai salat sunah, dan laki-laki lain salat dua rakaat dengan niat sebagai salat fardhu. Maka kedua amalan itu dibedakan oleh niat: yang pertama salat sunah dan yang kedua merupakan salat wajib.

Jadi, yang dimaksud dengan niat adalah membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah lainnya, seperti ibadah sunah dengan ibadah fardhu, atau membedakan antara ibadah dengan kebiasaan.

Syekh Ustaimin rahimahullahu Ta’ala menjelaskan,

واعلم أن النية محلها القلب، ولايُنْطَقُ بها إطلاقاً، لأنك تتعبّد لمن يعلم خائنة الأعين وما تخفي الصدور، والله تعالى عليم بما في قلوب عباده، ولست تريد أن تقوم بين يدي من لايعلم حتى تقول أتكلم بما أنوي ليعلم به، إنما تريد أن تقف بين يدي من يعلم ماتوسوس به نفسك ويعلم متقلّبك وماضيك، وحاضرك. ولهذا لم يَرِدْ عن رسول الله ولاعن أصحابه رضوان الله عليهم أنهم كانوا يتلفّظون بالنيّة ولهذا فالنّطق بها بدعة يُنهى عنه سرّاً أو جهراً، خلافاً لمن قال من أهل العلم: إنه ينطق بها جهراً، وبعضهم قال: ينطق بها سرّاً، وعللوا ذلك من أجل أن يطابق القلب اللسان.

“Ketahuilah bahwa tempat niat adalah di hati, dan tidak diucapkan sama sekali. Hal ini karena engkau beribadah kepada Dzat yang mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang tersembunyi di dalam dada. Allah Ta‘ala Maha Mengetahui apa yang ada di hati hamba-Nya.

Engkau tidak sedang berdiri di hadapan seseorang yang tidak tahu isi hatimu sehingga engkau perlu mengucapkan apa yang engkau niatkan agar dia mengetahuinya. Tetapi engkau berdiri di hadapan Dzat yang mengetahui bisikan hatimu, mengetahui keadaanmu di masa lalu, masa kini, dan seterusnya.

Oleh karena itu, tidak pernah datang riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka melafalkan niat. Maka mengucapkan niat adalah bid‘ah yang terlarang, baik dilakukan secara diam-diam maupun terang-terangan. Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang membolehkan melafalkannya secara keras, dan sebagian lain membolehkan melafalkannya secara pelan, dengan alasan agar hati dan lisan selaras.” [3]

Bukankah pelafalan (لبّيك اللهم عمرة، ولبيك حجّاً، ولبّيك اللهم عمرة وحجّاً) bagi orang berihram adalah pengucapan niat?

Syekh Utsaimin menjelaskan hal ini dan berkata, “Bukan, itu adalah bentuk menampakkan syiar ibadah manasik (nusuk). Karena itulah, sebagian ulama mengatakan bahwa talbiyah dalam manasik itu kedudukannya seperti takbiratul ihram dalam salat. Jika engkau tidak bertalbiyah, maka ihrammu tidak sah, sebagaimana jika engkau tidak bertakbiratul ihram, salatmu juga tidak sah.

Oleh sebab itu, tidak termasuk sunah untuk mengatakan seperti yang diucapkan oleh sebagian orang, “Allahumma inni urîdu nusuka al-‘umrah” (Ya Allah, aku berniat melakukan umrah) atau “Urîdu al-haj fa-yassirhu lî” (Aku berniat haji, maka mudahkanlah bagiku). Karena ucapan itu adalah zikir yang membutuhkan dalil, sedangkan tidak ada dalilnya.

Maka jika aku ingin mengingkari orang yang melakukannya, aku mengingkarinya dengan tenang sambil berkata, “Wahai saudaraku, ini tidak pernah diucapkan oleh Nabi ﷺ maupun para sahabatnya, maka tinggalkanlah.”

Dan jika dia menjawab, “Tapi si Fulan mengatakannya di dalam kitabnya”; maka katakanlah, “Perkataan yang benar adalah apa yang Allah Ta‘ala dan Rasul-Nya ﷺ katakan.”” [4]

Niat yang ikhlas adalah tanda tauhid yang benar

Setelah mengetahui urgensi niat, sebagai seorang hamba yang bertauhid, ia akan berusaha untuk menjadikan semua niat ibadahnya ditujukan hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Tidak ada sedikitpun baginya untuk meraih dunia ataupun sekedar pujian manusia di dalam niatnya dalam beribadah. Dia sadar dan mengetahui bahwa tujuan ia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana firman Allah,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Faidah 2: Keutamaan hijrah di jalan Allah

Allah berfirman,

وَمَن يُهَاجِرۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ يَجِدۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ مُرَٰغَمٗا كَثِيرٗا وَسَعَةٗۚ وَمَن يَخۡرُجۡ مِنۢ بَيۡتِهِۦ مُهَاجِرًا إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ يُدۡرِكۡهُ ٱلۡمَوۡتُ فَقَدۡ وَقَعَ أَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۗ

“Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya ia akan mendapati di bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai), maka sungguh pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah.” (QS. An-Nisa: 100)

Hijrah, wajib atau sunah?

Syekh Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

إذا كان الإنسان يستطيع أن يظهر دينه وأن يعلنه ولايجد من يمنعه في ذلك، فالهجرة هنا مستحبة. وإن كان لايستطيع فالهجرة واجبة وهذا هو الضابط للمستحبّ والواجب. وهذا يكون في البلاد الكافرة، أما في البلاد الفاسقة -وهي التي تعلن الفسق وتظهره- فإنا نقول: إن خاف الإنسان على نفسه من أن ينزلق فيما انزلق فيه أهل البلد فهنا الهجرة واجبة، وإن لا، فتكون غير واجبة.

“Jika seseorang mampu menampakkan agamanya dan mengumumkannya serta tidak menemukan orang yang menghalanginya dalam hal itu, maka hijrah dalam kondisi ini hukumnya sunah. Namun jika ia tidak mampu, maka hijrah menjadi wajib. Inilah patokan antara yang sunah dan yang wajib. Hal ini berlaku di negeri-negeri kafir.

Adapun di negeri-negeri fasik, yaitu negeri yang menampakkan dan menyiarkan kefasikan, maka kami katakan, jika seseorang khawatir dirinya akan tergelincir pada perbuatan yang dilakukan oleh penduduk negeri tersebut, maka hijrah di sini wajib. Jika tidak, maka hijrah tidak wajib.” [5]

Apakah ada hijrah menuju Rasullah setelah wafatnya?

Adapun hijrah kepada pribadi beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak lagi berlaku, sehingga tidak boleh hijrah ke Madinah hanya karena pribadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau telah berada di dalam tanah. Adapun hijrah kepada sunah dan syariat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ini adalah sesuatu yang dianjurkan, seperti pergi ke suatu negeri untuk menolong syariat Rasul dan membelanya.

Maka hijrah kepada Allah berlaku di setiap waktu dan keadaan, sedangkan hijrah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa hidupnya adalah kepada pribadi dan syariat beliau, dan setelah wafatnya hanya kepada syariatnya saja. Seperti firman Allah Ta’ala,

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرسول

“Jika kalian berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.” (QS. An-Nisa: 59), yakni kepada Allah selamanya, dan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa hidupnya adalah kepada pribadi beliau, sedangkan setelah wafatnya adalah kepada sunah beliau. [6]

Wallahu a’lam.

[Bersambung]

Kembali ke bagian 1

***

Penulis: Gazzetta Raka Putra Setyawan

Artikel Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Syarh Al-Arba’una An-Nawawiyah, karya Ibnu Daqiq Al-‘Id, hal. 26-27.

[2] Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, karya Syekh Utsaimin, hal. 20.

[3] Ibid, hal. 22.

[4] Ibid, hal. 23.

[5] Ibid, hal. 32.

[6] Ibid, hal. 25.


Artikel asli: https://muslim.or.id/108602-penjelasan-hadis-arbain-an-nawawiyah-bag-2.html